MENGENANG SYAFI’I MAARIF

Politik Kewargaan

Diskusi yang diselenggarakan Madani International Film Festival sebagai tribut untuk Buya Syafi’i Maarif mencoba melihat bagaimana pemikiran dan dalam sejarah demokrasi Indonesia, nama Buya Ahmad Syafi’i Maarif sering disebut bersanding dengan nama Gus Dur Abdurrahman Wahid. Keduanya dipandang sebagai dua guru bangsa yang berjuang menguatkan demokrasi dan politik kewargaan. Gus Dur yang lahir dari rahim Nahdhatul Ulama, dan Buya Syafi’i Maarif yang lahir dari rahim gerakan Muhammadiyah, adalah dua matahari kembar yang menjaga Islam dari kekeliruan tafsir, yang membahayakan fondasi kesetaraan warga negara bangsa ini. 

Hidup dan pemikiran Buya Syafi’i Maarif menunjukkan bahwa kewargaan bukanlah sesuatu yang diterima gratis. kewargaan dihasilkan dan dipraktikkan melalui gerakan melawan ketidakadilan. Buya Syafi’i Maarif sangat sadar bahwa kewargaan adalah hasil dari perjuangan mereka yang ada di akar rumput, kelas menengah, maupun organisasi dan aktivis, untuk memperoleh pengakuan terhadap budaya dan keadilan sosial. Praksis hidup dari kesadaran ini membuat Buya Syafi’i Maarif, usai wafatnya Gus Dur, kerap menjadi tumpuan harapan perlindungan dari kaum minoritas yang hak sipil dan hak kewargaannya terancam dan tertindas.

Pada Februari 2018 seorang laki-laki yang membawa kelewang merangsek masuk ke gereja St. Lidwina Bedog, Sleman. Laki-laki itu menyerang umat yang sedang melaksanakan misa mingguan. Tiga orang terluka, dan patung Yesus dan Bunda Maria dalam gereja rusak tertebas kelewang. Begitu mendengar kabar, tanpa ragu Buya Syafi’i Maarif bergegas datang ke lokasi kejadian. “Ini sangat melukai Indonesia. Ini biadab,” kata Buya Syafi’i kepada media yang mewawancarainya. Selain melihat gereja, Buya juga segera mengunjungi Romo Karl-Edmund Prier SJ dan dua korban lain di RS Panti Rapih.

Saat kasus “penistaan agama” oleh Basuki Tjahaya Purnama menjadi pusat perhatian publik pada 2016–2017, meski tidak populer, Buya Syafi’i tetap tegas dan kukuh pada pandangan bahwa Ahok tidak menista agama dan tidak dapat dipenjara dengan pasal penistaan agama. Kritik pedas dari sebagian kalangan umat Islam muncul berdatangan menghujat Buya Syafi’i karena sikapnya ini. Tapi, Buya bergeming, tahu bahwa sikapnya dibutuhkan untuk menyelamatkan satu fondasi utama dalam kehidupan berbangsa: kesetaraan sebagai warga negara harus melampaui batas-batas kekauman.

Kekhawatiran Buya Syafi’i terhadap pandangan kekelompokan yang mengancam fondasi kebangsaan ini juga tampak dari dukungannya ketika Maarif Institute dan Garin Nugroho menggarap film Mata Tertutup. Film yang didasarkan pada data riset bertahun-tahun mengenai kelompok-kelompok radikal Islam ini menjadi penanda penting akan kesadaran bahwa pemahaman keagamaan yang keliru juga bisa mengancam fondasi kebangsaan. 

Praktik hidup Buya memberi sumbangan penting bagi politik kewargaan di Indonesia. Juga, bagaimana nasib politik kewargaan hari ini selepas kepergian Buya dan apa yang bisa dilakukan untuk melanjutkan kerja-kerja Buya di masa depan.

 

Krisnadi Yuliawan

 

MENGENANG SYAFI’I MAARIF: Politik Kewargaan

Speakers
Garin Nugroho (Film Director)
Fajar Riza Ul Haq (Researcher on Islamic Studies)

 

Moderator
Roosalina Wulandari (Lecturer, Binus University)

 

Thursday, October 13, 2022 at 2.30 - 4 pm | Studio Asrul Sani, Kineforum, TIM

MATA TERTUTUP

Garin Nugroho | Drama | 2011 | 90 min | Indonesia | Sub: English | 17+

 

Tiga cerita tentang wajah kehidupan beragama di Indonesia. Ada Rima (Eka Nusa Pertiwi), seorang gadis yang sedang gundah dalam pencarian identitas. Dalam kegamangannya, ia terlibat dalam NII. Ada Jabir (M. Dinu Imansyah), seorang remaja yang menjadi pengebom bunuh diri karena terdorong oleh kondisi keluarga dan kesulitan ekonomi. Ada juga Asimah (Jajang C. Noer), seorang ibu yang kehilangan anak satu-satunya: Aini. Anaknya menjadi korban penculikan orang-orang dari kelompok Islam fundamentalis. Penculikan itu berlangsung ketika Asimah tengah berada pada proses perceraian. Asimah kian frustasi jadinya.

 

Awards:
World Premiere at Rotterdam Film Festival, 2012
Best Feature, Indonesian Film Appreciation, 2012